Rabu, 08 Desember 2010

Judul: Asap
Datum: Sabtu, 14 Oktober 2006 | 22:42 WIB

Gambar diambil dari http://ourdelhistruggle.com/2009/02/

Tidak ada asap kalau tidak ada api. Tapi negeri tetangga kita, Singapura dan Malaysia, dibingungkan oleh asap. Asap sudah mengganggu kegiatan sehari-hari, padahal di sana tidak ada api.

Api itu ada di negeri kita. Tepatnya di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatera yang terbakar atau dibakar. Api tak kunjung padam karena memang amat sulit dipadamkan. Berbagai teori sudah dibuat, termasuk mendatangkan pesawat dari Rusia. Tentang pesawat ini, ada banyak pakar yang kurang setuju. Alasannya, pesawat tidak bisa memuntahkan air dalam jarak dekat karena memang tak bisa terbang rendah.

Jadi? Kita masih sibuk berteori, sementara asap terus terbang melintasi perbatasan negara dan membuat kita disindir sebagai negeri yang tak becus menghadapi asap. Tak apalah dikritik, yang penting kan ada usaha. Mengkritik memang lebih mudah daripada menangani persoalan. Seperti halnya penanganan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, para pengritik memang tak melakukan kerja apa-apa selain memberikan kritik itu sendiri. Cobalah memberikan solusi, setidak-tidaknya ikut memikirkan jalan yang terbaik di antara jalan-jalan yang buruk.

Sementara itu, alam menyimpan rahasia mahadalam. Alam tak pernah memberitahukan kapan api di Kalimantan dan Sumatera akan padam. Alam tak pernah memberikan waktu yang tepat, kapan hujan akan turun, meskipun manusia dibolehkan main ramal. Alam juga tak pernah memberitahukan kapan semburan lumpur di Porong akan berhenti. Andaikata alam mau membuka rahasianya ini, kita tentu bisa mengambil ancang-ancang, apa yang mesti dilakukan.

Pemerintah dan warga Singapura memprotes karena kita mengirimkan asap, meski itu tidak kita sengaja. Namun, pemerintah dan warga Singapura tak pernah memprotes dan malah senang jika kita mengirimkan koruptor-koruptor dengan duitnya yang bertriliun-triliun ke sana, meskipun "pengiriman" ini juga tidak kita sengaja karena para koruptor dan pengemplang duit rakyat itu memang lolos ke sana. Jangan-jangan alam mengirimkan asap ke Singapura untuk maksud tertentu, misalnya menjaga keseimbangan. Yang menggembirakan dikirim, yang menyusahkan juga dikirim.

Artinya, kalau memang warga Singapura kesal dengan asap yang mengganggu, ya, tolong juga membantu bagaimana cara memadamkan titik api yang ada di hutan-hutan Indonesia. Caranya kembali memakai teori "keseimbangan alam" itu. Uang para koruptor dan pengusaha pengemplang utang asal Indonesia yang kini ada di Singapura dikembalikan ke Indonesia. Jika perlu, dikembalikan bersama orangnya agar mereka bisa lebih bertanggung jawab. Enak saja menggaruk uang rakyat Indonesia tapi kini ongkang-ongkang dengan amannya. Begitu ada asap, eh, marah-marah.

Antara asap dan miliarder kita yang nyaman di Singapura tentu saja tak ada hubungannya. Asap masalah lingkungan, sedangkan miliarder asal Indonesia adalah soal perjanjian ekstradisi. Tapi, kalau kita mau menghubung-hubungkannya, apa salahnya juga? Singapura selalu mengulur waktu soal perjanjian ekstradisi dan itu menyulitkan kita membawa bromocorah pulang ke tempat mereka dulu menjarah. Jika Singapura berdalih tak pernah mengundang orang kaya Indonesia datang ke sana, apalagi membawa duit haram, kita pun bisa berdalih tak pernah menerbangkan asap ke sana. Salahkan angin, kenapa bertiup dari timur.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger